Pages

Subscribe:

Labels

Minggu, 07 Juni 2009

Antara Jakarta dan Medan



Hari ini aku berangkat ke Medan dengan pesawat Airasia QZ 7497 ETD 10.50 ETA 13.05.
Perjalanan pertama keluar kota, sendirian.. naik pesawat, ke kota asing yang sama sekali aku gak pernah tahu, bertemu orang-orang asing, yang belum pernah bertemu sebelumnya.
Nekat ??? hahaha... banyak yang bilang gtu sih.. :D
Sampe-sampe diriku di omelin sama Dessy, sistaku yang baweelll...hoho..
(Maaf sis, gw emg gak tau kota ini cuma gw ttp pengen kesini.. meskipun.. ??? u know lah.. hehe).

Aku berangkat dari rumah jam 08.00 pagi, naek DAMRI (Angkutan khusus bandara). Tiba di bandara Internasional Soekarno Hatta jam 09.00. Celingak-celinguk kayak orang bodoh sendirian di depan terminal 3, hehehe.. tapi tetep stay cool aja deh!!
Setelah 10 menitan "mejeng" di depan terminal 3, menikmati terminal yang baru dibangun ini dengan gaya "luar negeri" yang minimalis (haha.. norak bgt ya?? bodo' ahh!! :P).

Aku masuk ke pintu keberangkatan. Setelah di cek bagasi langsung menuju ke counter cek-in Airasia. Ada 3 orang ibu-ibu mengantri di depan ku. Orang pertama dan kedua sudah saling mengenal, mereka cek in pertama dan menggunakan bahasa Chinese Hokkian dengan petugas counter cek in yang rupanya juga udah lancar menggunakan bahasa itu. Sementara orang ketiga, seorang wanita paruh baya, membawa 2 koper besar dan 1 tas ukuran sedang, wajahnya terlihat lelah dan menggunakan mantel hangat. Begitu aku mendekat berdiri di antrian di belakangnya, wanita itu tersenyum ke arah ku dan menanyakan hendak ke Medan. Aku menjawab pertanyaannya dengan mengangguk sambil membalas senyumnya. Dia bilang sedang tidak enak badan dan memohon untuk di bantu cek in. Aku katakan aku bersedia membantunya, kemudian dia memberikan tiket dan KTP-nya padaku beserta selembar uang 50 ribuan untuk membayar airport tax.

Sayang nomor seat kami saling berjauhan, ibu itu duduk di seat nomor 9C, sementara aku di 22D. Petugas counter cek in tadi bilang, jika tiketnya terpisah tidak bisa di berikan nomor seat berdampingan dan peraturan penempatan seat memang memberikan seat yg terdepan untuk wanita/pria lansia, paruh baya dan anak-anak, sementara untuk yang lebih muda akan diberikan seat dibelakang.

Setelah selesai check-in dan bagasi, aku kembalikan KTP, boarding pas dan sisa kembalian airport tax padanya. Kemudian dia mengucapkan terima kasih sambil memperkenalkan dirinya. Namanya ibu Debora Siringoringo. Orang Medan asli kalau ku lihat dari nama marganya, tapi ketika ku lihat KTP-nya tadi dikeluarkan di kota Surabaya. Namun aku enggan menanyakannya. Dia memintaku memanggilnya dengan sebutan "bu De", singkatan dari Ibu Debora.
Setelah kami saling berkenalan, ku lihat jam di tangan ku masih ada waktu 30 menit lagi sebelum kami masuk ke Boarding Lounge. Dia mengajak ku keluar karena keluarga yang mengantarkannya masih menunggunya.

Aku dikenalkan pada anak laki-lakinya, menantu perempuannya dan tiga orang cucu-cucunya yang manis. Aku paling suka dengan cucunya yang bungsu, namanya Jocelyn. Usianya sekitar 2 tahun, kulitnya putih, berambut lurus dengan poni didepan dahinya, dia terlihat sangat manis dan sangat sayang dengan oma-nya. Hal ini terlihat ketika Bu De keluar dan mendekat kearahnya, Jocelyn kecil begitu gembira dan ingin memeluk oma-nya.. hmm, manisnya.

Pukul 09.30 setelah bu De berpamitan dengan keluarganya, kami masuk kembali ke dalam dan langsung menuju boarding lounge di lantai 2. Sebelum keluarga bu De pamit pulang, anak laki-lakinya menitipkan ibunya pada ku, "titip ibu saya ya mbak..terima kasih!" katanya sambil menjabat tangan ku. Masuk ke boarding lounge kami mengambil tempat duduk di zona 5, tempat menunggu untuk tujuan Medan. Saat kami menunggu itu, bu De cerita banyak soal keluarganya dan tujuannya ke Medan adalah ke kampung halamannya di daerah Tomok, Parapat. Suami dari bu De telah lama meninggal dan setelah kepergian suaminya bu De memutuskan untuk menetap di Surabaya karena selama sang suami masih hidup, dia memang telah tinggal disana. Ketika aku menanyakan kenapa tidak tinggal dengan anak laki-lakinya yang tadi mengantarnya, dia hanya tersenyum dan mengatakan bahwa anaknya telah memilki kehidupannya sendiri walaupun anak dan menantunya telah memintanya untuk tinggal bersama mereka namun bu De memilih untuk tidak bergantung pada anaknya.
Bu De seorang ibu yang sangat bijak, sangat sayang pada keluarga, anak, menantu dan cucunya, meskipun usianya sudah separuh baya tapi dia tetap mandiri dan tidak ingin menyusahkan orang lain.

Di area boarding lounge, kami banyak bertemu dengan orang-orang Batak-Medan dengan berbagai macam marga. Bu De dengan bahasa bataknya menyapa mereka ramah dan saling memperkenalkan diri, marga dan daerah asal masing-masing. Aku agak canggung di tengah orang-orang batak itu dan sesekali bu De juga memperkenalkan aku pada mereka.

Setelah sekitar 1 jam kami menunggu, akhirnya saat yang ditunggu tiba juga. Pukul 10.20 petugas AirAsia memberitahukan para penumpang tujuan Medan untuk datang ke counter untuk mengecek kembali nama di boarding pass telah sesuai dengan KTP. Peraturan penerbangan, nama penumpang harus sesuai dengan nama di kartu identitas. Hal ini penting, seandainya pesawat tersebut mengalami kecelakaan misalnya, pihak penerbangan akan menginformasikan nama-nama penumpang dalam pesawat dan jika terburuknya si penumpang tersebut meninggal, santunan dari pihak penerbangan dan asuransi akan diberikan pada korban yang namanya sesuai dengan kartu identitasnya. Nauzubillahimindzalik... jangan sampe deh hidupku berakhir dalam pesawat!

Perjalanan ke Medan memakan waktu sekitar 2 jam 15 menit (ini kalo aku hitung dari estimasi jam berangkat sampai jam tiba). Aku mendapat nomor seat 22 D, harusnya di aisle (jalanan antara deretan tempat duduk/gang) tapi begitu ku lihat, seat 22 D ku sudah ditempati orang, 22 E juga sudah terisi, yang tersisa 22 F. Mau gak mau aku beranikan diri duduk di sebelah window itu walaupun sebenarnya aku punya phobia ketinggian. Begitu aku duduk, sebenarnya aku senang juga, pengalaman pertama naik pesawat dikasih kesempatan untuk melihat awan juga (Thanks buat bapak yg nempatin seat 22 D-ku, hehe..) tapi begitu aku melihat keluar jendela, darah ku langsung serr..serr.. melihat celah sayap menutup saat pesawat take off, merasakan guncangannya sambil melihat rumah-rumah penduduk dibawah perlahan mengecil dan hilang, tergantikan oleh awan-awan putih di langit.

Dua puluh menit pesawat mengudara, ku ambil buku dari tas ku, hadiah dari seorang sahabat yang sudah ku anggap saudara di Forbik. Aku baca buku itu untuk mengisi waktu di dalam pesawat namun guncangan demi guncangan membuat aku gak nyaman. Hmmm... perasaannya ngeri, tapi seneng karena beberapa jam lagi akan bertemu si sipit, tapi takut lagi karena si pramugari bilang sudah berada di ketinggian 36.000 kaki dan dia mengingatkan agar tetap menggunakan sabuk pengaman. Duh, ngeliat keluar jendela udah merinding lagi. Tidak lama, sang pilot berbicara dari ruang kemudinya, menginformasikan bahwa pesawat mengalami turbulan (guncangan) karena cuaca yang sedang buruk dan perbedaan arah angin sehingga pesawat dihantam angin yang berlawanan dan posisi pesawat saat ini berada di arah barat kota Palembang dengan ketinggian 36.000 kaki dari permukaan laut. Haduuh.. makin merinding diriku. Semakin banyak do'a ku baca, buku yang sejak tadi ku baca, ku letakkan begitu saja, jendelanya juga langsung ku tutup. Tapi begitu aku melihat ke sebelahku, 2 bapak-bapak itu asyik bobok siang dan terlelap dengan mimpinya masing-masing. Kok beda ya ma diriku? aku udah baca Al-Fatihah abis-abisan, tangan dan kaki jadi dingin semua, tapi orang-orang disebelahku adem ayem saja. Hmm.. mungkin jam terbang mereka sudah tinggi, sehingga guncangan yang begitu gak ngefek lagi, mungkin juga aku yang norak kali ya.. (dugaan terakhir pasti yang paling besar peluang kebenarannya, hoho.. :D).

Pesawat mendarat pukul 12.50. Lima belas menit lebih cepat. Menurut informasi yang aku tahu dari bos ku, semakin lambat waktu tibanya, semakin safety..karena pesawat menghindari badai agar tidak terjadi turbulan karena turbulan-turbulan yang terus-menerus mengantam pesawat bisa merusak sistem dan mesin pesawat, contohnya mungkin yang terjadi pada pesawat Air France yang jatuh di samudera atlantik dalam penerbangan dari Brasil menuju Paris, Perancis. Jadi kalo pesawatnya tiba lebih cepat dari schedule bisa jadi tu pesawat ngebut, hoho.. karena klo pesawat menghindari badai dengan mengubah sedikit jalurnya, akan memakan waktu lebih lama dan bahan bakarnya juga lebih banyak. Weleh-weleh.. ternyata pilot mengalami dilemma juga, klo ada badai dia gak menghindar, bahaya buat keselamatan diri dan penumpangnya tapi klo menghindar, bakal di omelin sama bos karena bahan bakarnya boros dan schedule berikutnya jadi delay. Tapi pilot Indonesia kayaknya pada gak takut mati nie.. kualitas pesawat yang kurang, maintenance jarang-jarang, spare part tambal-sulam, tapi tetep nekat nabrak badai biar cepet nyampe dan ngirit avtur (apalagi pesawat berwarna orange dgn inisial A, wah paling parah tu.. untung sekarang udah tutup :P).

Pesawat telah tiba di Polonia International Airport. Aku keluar dari cabin melalui pintu belakang dan langsung masuk ke shuttle bus yang membawa penumpang ke gedung tempat kedatangan. Aku tunggu bu De di depan pintu masuk gedung. Tidak lama tangan bu De menyapaku. Kami masuk ke dalam gedung dan menuju tempat pengambilan bagasi. Barang-barang bu De cukup banyak, ada 2 koper ukuran besar dan 1 tas ukuran sedang. Aku mendapatkan barang ku lebih dulu, 1 buah koper berwarna pink dengan ukuran kecil yang ku pinjam dari Vina, teman ku dikantor :P. Kemudian aku bantu bu De mencari barang-barangnya. Setelah 15 menit menunggu, akhirnya barang-barang kami sudah lengkap. Kami berjalan menuju pintu keluar.

Bandara Polonia Medan sangat crowed, pantas saja bos ku yang memang berasal dari Medan mengatakan bandara Medan gak teratur. Banyak calo dan semuanya serba gak teratur. Dengan susah payah akhirnya kami berhasil melewati padatnya orang-orang yang berkerumun, menunggu kedatangan teman, saudara dan keluarganya. Aku melihat sekeliling keadaan bandara Polonia, orang-orangnya dan langit di kota ini. Kota yang sangat asing buat ku, aku tak pernah sekalipun kesini, walaupun dikantor aku sering meng-issued tiket tujuan ke kota ini.

Aku putuskan untuk menemani bu De sampai mobil yang menjemput dan akan mengantarkannya ke Parapat tiba. Sambil menunggu, bu De mengajak ku masuk ke salah satu restoran, dia menawarkan ku makan namun aku menolak dan kami hanya minum jus buah. Bu De menanyakan pada ku sampai kapan aku di Medan, aku menjawab hari kamis sudah kembali ke Jakarta. Bu De menyesal karena aku tidak lama di Medan, dia menawarkan untuk mengajak ku ke Parapat, dia bilang Parapat itu indah dan aku harus datang kesana. Aku senang sekali dengan ajakan bu De dan berjanji jika ada kesempatan lagi, aku pasti mau datang ke Parapat.

Tidak lama mobil yang menjemput bu De datang. Aku membantu bu De membawakan barang-barangnya ke dekat mobil dan pak Supir membantu menaruh barang-barang itu ke dalam mobil. Waktu perpisahan ku dengan bu De semakin dekat. Aku mencium tangan bu De dan bu De memeluk ku. Dia berkata, "Kamu hati-hati di Medan ya Wit, terima kasih udah bantuin bu De dari Jakarta sampai ke Medan. Bu De pergi duluan ya, tapi nanti kalau bu De kembali ke Jakarta, bu De pengen ketemu lagi sama kamu, kita jadi teman ya sekarang? anggap bu De teman kamu, Ok?! Jaga diri baik-baik ya Wit!", aku hanya bisa mengangguk dan menjawab iya atas semua pesan-pesan bu De. Dia juga memberikan beberapa lembar uang padaku, katanya sebagai tanda terima kasihnya padaku, aku berusaha menolak dan bilang kalau aku membantunya dengan ikhlas tapi dia tetap ingin agar aku menerimanya. Aku berterima kasih dan mengucapkan selamat jalan padanya. Mobil yang membawa bu De bergerak menjauh dariku. Aku tidak akan melupakan kebersamaan ku yang sebentar ini bersama ibu Debora.

Sekarang tinggal aku sendiri dan aku masih harus melanjutkan perjalananku. Aku lihat jam di tanganku, pukul 14.15. Tiba-tiba handphone ku berbunyi, sebuah pesan singkat masuk ke inbox. Aku buka isinya, dari Rony, dia tanya apakah aku sudah tiba di Medan. Aku balas, aku sudah sampai di Polonia dan sebentar lagi on the way. Ku masukkan hp ku ke dalam tas. Aku pandangi lagi sekelilingku, kemudian menatap langit diatas kota ini. Aku menutup mata ku dan berkata dalam hati : "Selamat datang di Medan Wit, kota yang asing bagimu.. Semoga Allah menjagamu di kota ini sampai kembali ke Jakarta, amien!!".

Ku panggil taksi dan memberinya alamat tempat tujuan ku. Taksi yang membawaku berjalan menjauh dari Polonia. Aku menikmati pemandangan kota Medan dari balik kaca. Tinggal beberapa jam lagi aku akan bertemu Rony, perasaan senang dan bahagia segera menyelimutiku dan pasti akan banyak momen-momen indah yang akan kami lewati bersama, nanti.


Wiwiet
Medan, 7 Juni 2009