Pages

Subscribe:

Labels

Rabu, 26 Januari 2011

Jangan Bicara Cinta

Jangan bicarakan cinta
Biarkan aku bernafas
Biarkan aku terlepas
Aku lelah berlari dan mencari

Jangan bicarakan cinta
Aku bosan dengan ungkapan rasa
Aku bosan dengan sensasinya
Aku lelah merasa dan dirasa

Jangan bicarakan cinta
Biarkan rasa itu hilang
Biarkan rasa itu terbang
Aku lelah bertahan dalam rasa

Jangan bicarakan cinta
Karena cinta saja tak cukup
Karena cinta tak slalu kuat
Aku lelah dan kini menyerah

Aku mohon, jangan bicarakan cinta
Hingga aku siap kembali padanya
Bicara dengan kata
Bicara dalam rasa
Bicarakan cinta




# Tulisan ini dibuat saat sedang patah hati, tulisan ini tidak akan sama saat aku jatuh cinta lagi, nanti.....



Wiwietz
26 Januari 2011

Senin, 17 Januari 2011

Pengamen Cilik Metromini

Aku selalu menyukai perjalanan ku menuju Forbik. Banyak hal-hal yang berhubungan dengan “manusia” yang bisa ku perhatikan. Entah sejak kapan menyukai ini, tapi aku bersyukur masih memiliki hati “manusia”. Hari ini sama seperti hari minggu yang sebelumnya, aku berangkat menuju Forbik yang berada di Kramat Senen menggunakan bus umum Metromini 07.

Sekitar setengah jam yang lalu, seorang teman sudah mengirim sms yang isinya menanyakan posisi ku, padahal aku belum keluar 1 langkah pun dari rumah :D. Begitu naik angkutan jurusan Semper-Senen ini, aku pilih duduk di kursi paling belakang karena beberapa alasan, salah satunya menghindari pencopet, karena beberapa bulan lalu aku dipaksa berpisah dengan Sony Ericsson K310-ku karena dicopet dalam bus Metromini ini. Menurutku, dengan duduk dibelakang jadi lebih bisa memperhatikan tingkah orang-orang yang mencurigakan.

Menaiki kendaraan metromini sebenarnya jauh dari nyaman, suaranya bising, kotor, bau, banyak copet dan supirnya lebih banyak ngasal  daripada benernya saat menyetir bus yang sudah lapuk ini. Tapi apa boleh buat, hanya bus inilah yang mengantarkan aku ke Forbik, selain itu ongkosnya pun lumayan murah, jauh dekat hanya 2 ribu perak. Berbeda jika harus naik Taksi, yang sama siapnya mengantarkan aku dengan lebih safety dan nyaman, tapi biayanya yang bikin gak nyaman :D.

Lima belas menit perjalanan, sekitar daerah Pertamina naik seorang pengamen cilik. Dia berdiri di depan, bernyanyi sambil menepuk-nepuk kedua tangannya sebagai irama pengiring. Aku tak bisa melihat tubuhnya yang kecil karena banyak penumpang lain yang tidak dapat tempat duduk berdiri menutupinya, tapi suara nyanyiannya terdengar samar-samar karena dipaksa beradu dengan kebisingan mesin bus ini. Entah lagu apa yang dinyanyikan pengamen cilik itu. Tidak lama suaranya terhenti, ternyata lagunya sudah selesai, dia mulai berjalan menyusuri tempat duduk penumpang satu-persatu untuk meminta recehan.

Tiba dia dibelakang, aku belum menyiapkan recehan untuk ku berikan padanya tapi dia tidak menadahkan tangannya ke arah ku. Dia berdiri didepan pintu bus dengan wajah lesu, mungkin uang recehanya hanya sedikit yang didapatkan. Ku kira dia mau langsung turun, buru-buru ku rogoh kantong jeans meraih uang untuk ku berikan padanya. “Adek, ini buat kamu,” kata ku. Dia meraihnya dan mengucapkan terima kasih. Usianya sekitar 6-7 tahunan, seumuran dengan keponakanku, Tata. "Ahh, bagaimana mungkin anak sekecil itu sudah mencari uang dijalanan," pikirku dalam hati. Ternyata pemberhentiannya masih lama karena beberapa kali bus berhenti dia belum turun juga. Sepanjang perjalanan dia berdiri dipintu bus dan sesekali memperhatikan uang yang tadi ku berikan, lalu dipegangnya erat-erat.

Sebelum lampu merah Cempaka Mas, seorang penumpang disebelah ku turun, lalu aku memanggil bocah itu untuk duduk disebelahku. “Adek, sini duduk,” kataku, lalu dengan susah payah karena bus masih melaju dia berusaha duduk, ku pegang tangannya dan membantunya sampai duduk. Setelahnya ku ajak dia mengobrol.

“Kamu sekolah gak?” tanya ku.
“Sekolah mbak” jawabnya
“Kelas berapa?”
“Kelas dua SD”
“Hmm.. rumahmu dimana dek?”
“Disitu” (sambil menunjuk ke arah luar)
“Ohh, Pedongkelan ya?”
Lalu dijawabnya dengan menggangguk.

“Tinggalnya masih sama orang tua?”
“Iya”
“Sama Ibu Bapak?”
“Sama Ibu aja, saya anak yatim mbak”
“Ohh...”

Tiba di halte Cempaka Mas, dia pamit turun.

“Saya tinggalin dulu ya, Mbak”
“Iya, hati-hati ya dek”

Lalu dia turun dan berlari kecil menaiki jembatan penyebrangan busway. Sayangnya sampai kami berpisah, aku lupa menanyakan nama bocah pengamen cilik itu.






Wiwietz
16 Januari 2011